JAKARTA — Tantangan ekonomi yang dihadapi China tahun ini berpotensi memberikan dampak signifikan pada industri tambang global. China, yang mengimpor dua pertiga bijih besi dan tembaga dunia, terutama melalui pasar properti yang mengalami krisis. Meskipun demikian, analis senior industri Bloomberg Intelligence, Alon Olsha, dan Global Head of Metals & Mining, Grant Sporre, menyoroti bahwa dukungan pemerintah terhadap proyek infrastruktur mungkin menjadi kunci untuk meningkatkan konsumsi logam dalam mengatasi skala krisis properti.
Selain krisis properti, inflasi yang menekan laba perusahaan tambang dan lemahnya harga logam juga menjadi tantangan serius. Analis meyakini bahwa pemulihan permintaan di luar China perlu terjadi, sementara keengganan China untuk meluncurkan stimulus besar dapat menyebabkan pelemahan harga tembaga di pasar global. Meskipun perkiraan awal menunjukkan surplus pasar tembaga pada 2024, tantangan pasokan teknis dan sosio-politik dapat mengubah skenario menjadi defisit sebesar 200.000 metrik ton.
Meski Rio Tinto Group, eksportir bijih besi terbesar dunia, menyampaikan pandangan optimistis mengenai kondisi ekonomi China, dengan tanda-tanda stabil pada kuartal IV/2023, namun harga bijih besi mengalami fluktuasi. Perusahaan ini menegaskan target pengiriman bijih besi dan produksi logam pada 2024, dengan optimisme meningkatnya permintaan terhadap material yang diproduksinya.
Dengan demikian, sambil menghadapi kompleksitas kondisi ekonomi global, industri tambang perlu mempertimbangkan kebijakan pemerintah, perkembangan pasar properti, dan perubahan dalam permintaan logam untuk merumuskan strategi yang tanggap terhadap dinamika pasar yang terus berkembang.
Deanra
-
Deanra
-
Most Popular
-
1
-
2
-
3
-
4